
Jika kita membuka lembaran hidup Natsir, kita memang menemukan sebuah perjalanan hidup yang menarik. Sebagai politisi, Natsir pernah menduduki posisi Perdana Menteri RI pertama tahun 1950-1951, setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jasa Natsir dalam soal terbentuknya NKRI ini sangat besar. Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”), yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI.
Natsir bukan hanya pahlawan bagi Indonesia. Tetapi, dunia Islam sudah mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi. Karena itulah, hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.
Adalah menarik jika menilik riwayat pendidikan Natsir. Tahun 1916-1923 Natsir memasuki HIS (HollandsInlandscheSchool) di Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di AMS (AlgemeneMiddelbareSchool) di Bandung.
Lulus dengan nilai tinggi, ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi. Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad A. Hasan.
Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung. Natsir memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Syuhada Bahri menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.
Kecintaan Natsir di bidang pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991, Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Natsir memang bukan sekedar ilmuwan dan penulis biasa.
Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Tulisan-tulisan Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.(krd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri Komentar dan Masukan