
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya dia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.
Masa kecil
Hamka mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.
Merantau
Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Menunaikan ibadah Haji
Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang, kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.
Menikah
Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.
Aktivis Islam
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama “al-Mahdi”.
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1950. Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi.
Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.
Politik
Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.
Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya. Akan tetapi, pada tanggal 19 Mei 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Sastrawan
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di Malaysia dan Singapura.
BUYA HAMKA adalah potret ulama kharismatik, politisi sejati dan pujangga terkemuka yang memilih berkiprah dalam perjuangan pembentukan karakter ummat dan bangsa.
Buya Hamka bukan sosok ulama istana, beliau adalah ulama pejuang yang berhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas islam modern atau kaum gedongan di Ibukota lewat icon al azhar yang pada akhirnya berhasil pula melebarkan sayap sebagai lembaga pendidikan modernis dan agamis.
Sebagai politisi buya hamka patut menjadi teladan, Pandangan dan keyakinannya senantiasa lurus – lurus saja memperjuangkan aspirasi ummat, beliau bersama tokoh-tokoh Masyumi lainnya adalah para pejuang Islam yang gigih dalam mengajukan konsep-konsep Islam, secara ilmiah dan argumentatif. Tetapi, juga konsisten dalam memegang teguh aturan main secara konstitusional. Ketika perjuangan melalui jalur partai politik terganjal, buya hamka dan para tokoh Masyumi memilih hijrah dengan menempuh jalur dakwah di masyarakat, masjid, pesantren, dan perguruan tinggi. Karena sesungguhnya dakwah adalah laksana air yang mengalir, tidak boleh berhenti, dan tidak bisa dibendung.
Sikap Istiqomah menjadi garda terdepan walau harus menghadapi tangan – tangan besi kekuasaan yang terbukti berhasil menjebloskannya ke penjara.
Penjara badaniah tak sekalipun kuasa memenjarakan kebesaran jiwa seorang hamka yang tetap merdeka, sejarah pula yang akhirnya mencatat bahwa dari dalam penjara lahir karya terbesar buya hamka yang membuatnya dikenal hingga ke mancanegara, Tafsir Al Azhar adalah satu – satunya Tafsir Al Qur’an yang ditulis oleh ulama melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna.
Bukan Sekedar itu karya sastra buah penanya tak kalah hebatnya, beberapa novelnya seperti Dibawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj , Merantau ke Deli dan banyak karya – karya beliau ternyata tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional sekelas Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang melainkan juga diterbitkan di beberapa negara asia tenggara bahkan di release juga diberbagai situs, blog dan media informasi lainnya.
Sikap Istiqomah yang dicontohkan buya hamka bisa menjadi inspirasi bagi kita, beliau bukan alumni perguruan tinggi manapun namun banyak sekali kalangan yang menuliskan di depan namanya gelar atau title Prof Dr, siapa yang bakal menyangka jika seorang yang pada awalnya belajar secara otodidak belakangan justru banyak di berikan gelar doctor honoris causa oleh banyak universitas terkemuka. (krd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri Komentar dan Masukan